Jokowi - Mega : dipersimpangan jalan?. (4)

 Jokowi - Mega : dipersimpangan  jalan?.   (4) Kekukuhan dan kejumawaan Mega ini terlihat dalam pidatonya  ketika dalam suatu acara intern PDIP dimana Jokowi juga tampak hadir.  Dengan nada yang sangat jumawa dan mengenyek Mega berkata :  "pak Jokowi ini bisa sampai seperti sekarang ini, karena PDIP lho?. Kalau ga karena PDIP he he...gak tau deh..... horrrre..,katanya sambil bersorak sendirian dengan wajah sinis. Jokowi yang ketika itu hadir dibarisan tempat duduk paling depan hanya tersenyum kecut ketika mendengar ucapan Mega. Barangkali dengan adanya beberapa perbedaan dan kejadian tsb diatas lah yang membuat Jokowi kemudian mulai melangkah kearah lain. Tak lagi mematuhi apa yang diinginkan Mega.  Peristiwa seperti itu (dienyek Mega didepan orang banyak),meski diintern partainya sendiri,karena dipublish  tentu dilihat dan diketahui juga oleh publik termasuk sang isteri Iriana.  Dan konon,Iriana lah yang kemudian menghendaki agar Gibran...

Mayoritas,minoritas

Kalau orang2 kaya  membagi2 "kail" (bukan uang), kepada orang2 yang tak punya kegiatan usaha yang masih kismin, itu paham yang bagus.

Kalau setiap orang dalam hidupnya mau saling  tolong menolong terhadap sesama tanpa memandang perbedaan agama, dan suku, juga sangat bagus.

Tidak suka berbohong, menyakiti, dan menipu orang lain.  Selalu ingin membantu,juga paham yang terpuji.Patut diikuti. 

Akan tetapi bila paham : membasmi orang2  yang berbeda agama (kafir), tidak beragama (atheis) , dan pembunuhnya dikatakan di jalan Allah dan akan masuk surga, jujur saya  belum  mengerti. 

Apalagi bila  mengacu pada : agamaku2,agamamu2,maka kita sebenarnya tak pantas dan tak berhak untuk mengatakan dan mengadili agama2 lain dengan mengatakan akan masuk neraka, karena kita bukanlah panitia surga.

Sebab, bukankah mereka bisa memiliki agama lain dan agama itu bisa ada karena kehendak dan seizin Allah juga? Bila Allah tak merestui, mana mungkin ada keberadaan agama lain yang berbeda?

Selain itu,bagaimanapun, membunuh adalah perbuatan keji dan biadab. Bila mereka kafir atau atheis itu urusan mereka, dan resiko tentu akan mereka tanggung sendiri. 

Tugas kita paling2 hanya sekedar mengingatkan, yang menurut kita keliru. Tapi bila menurut mereka tidak,itu juga hak mereka.

Sebab,jangankan orang dibunuh yang implikasinya bisa kemana-mana :  bagaimana nasib keluarga yang ditinggalkan bila pelindungnya mati dibunuh? 

Bagaimana isteri dan anak2nya akan bisa makan, sekolah. Sakit,siapa yang akan membiayainya, bila pelindung keluarganya telah tiada, mati dibunuh? 

Hal2 seperti itu,bila kita mengacu pada perikemanusiaan seperti yg telah tercantum dalam Pancasila, harus dipikirkan.

Paham seperti itu,yang seenaknya membunuh sesama manusia, jelas keliru karena sama sekali sangat tak manusiawi  dan tak memperhitungkan akibat  berikutnya   tentang kehidupan orang lain.

Paham seperti ini jugalah tampaknya yang semakin kesini semakin meluas, mengemuka dan semakin  berkembang dimasyarakat Afganistan : yang tak sesuai, tak sejalan harus dibasmi,dibunuh !!

Hal2 seperti itu,tak ada tindakan yang tegas dan massal,dilakukan oleh pemerintah.Seperti halnya PKI yang telah dibasmi, sampai ke akar2 nya.

Begitu pula lontaran kata2 yang sangat tidak elok didengar seperti : murtad, kafir, atheis, yang telah menjadi makanan sehari2, bila seorang tokoh sedang berdak'wah kepada para pengikutnya.

Hemat saya,kata2 seperti kafir,atheis,tak perlu, tak patut dilontarkan, apalagi kepada khalayak ramai yang jelas2 sangat beragam agama yang dianutnya.

Kenapa? Karena selain tak enak didengar, juga secara etika kita sudah menjustifikasi  orang lain yang memang berbeda keyakinannya. Padahal, keberadaan mereka yang berbeda keyakinannya di republik ini dilindungi oleh undang2.

Lagi pula masalah agama adalah masalah yang sangat personal, privat. Siapa saja di republik ini boleh dan berhak untuk memeluk agama apapun yang telah diyakininya.

Seperti yang tertuang dalam u.u,setiap warga negara di republik ini bebas utk memeluk agama apapun sesuai dengan keyakinan nya masing2 dan itu dijamin oleh undang2.

Sampai disini,tampaknya undang2 yang ditetapkan  pemerintah RI  merupakan  pegangan dan rujukan yang benar, bagi setiap warga negara yang ingin memeluk agamanya sesuai dengan keyakinannya masing2.

Maka pertanyaannya : kenapa sampai timbul persepsi (bahkan fakta) kalau perbedaan agama bisa  menjadi kendala bagi seseorang untuk  bisa tampil, berprestasi?

Bahkan, bila minoritas  sedikit saja melakukan kesalahan berbicara,yang menyangkut agama lain, dia harus menerima resikonya. Tetapi bila mayoritas melakukan hal yang sama tak ada masalah,   tak ada sanksi apapun.

Bukankah ini berarti : siapa yang mayoritas (baca : kuat) itulah yang menang? Dan minoritas akan selalu salah dan kalah, sekalipun benar. Itulah sebabnya kini org lebih memilih cara untuk menghimpun kekuatan ketimbang memilih cara melakukan kebenaran.

Karena faktanya : yang benar itu mayoritas,dan yg salah adalah minoritas

oleh : Tek Ko Seng

Komentar